Tugas Softskill
Ilmu Sosial Dasar
BAB X
AGAMA DAN MASYARAKAT
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Sosial Dasar
Disusun oleh:
Shifa Awaliyah (18113444)
1KA07
FAKULTAS ILMU KOMPUTER DAN TEKNOLOGI INFORMASI
JURUSAN SISTEM INFORMASI
UNIVERSITAS GUNADARMA
AGAMA DAN MASYARAKAT
Pengertian Agama Dan Masyarakat
Masyarakat adalah suatu sistem sosial yang menghasilkan kebudayaan (Soerjono Soekanto, 1983). Sedangkan agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kepercayaan tersebut. Sedangkan Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Di tahun 2000, kira-kira 86,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 5,7% Protestan, 3% Katolik, 1,8% Hindu, dan 3,4% kepercayaan lainnya.
Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa “tiap-tiap penduduk
diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya” dan
“menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau
kepercayaannya”. Pemerintah, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam
agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.
Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang
ada di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari
itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan
antar kelompok maupun golongan. Program transmigrasi secara tidak langsung
telah menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia.
Berdasar sejarah, kaum pendatang telah menjadi
pendorong utama keanekaragaman agama dan kultur di dalam negeri dengan
pendatang dari India, Tiongkok, Portugal, Arab, dan Belanda. Bagaimanapun, hal
ini sudah berubah sejak beberapa perubahan telah dibuat untuk menyesuaikan
kultur di Indonesia.
Berdasarkan Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1
Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1,
“Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius)”.
* Islam : Indonesia merupakan negara dengan penduduk
Muslim terbanyak di dunia, dengan 88% dari jumlah penduduk adalah penganut
ajaran Islam. Mayoritas Muslim dapat dijumpai di wilayah barat Indonesia
seperti di Jawa dan Sumatera. Masuknya agama islam ke Indonesia melalui
perdagangan.
* Hindu : Kebudayaan dan agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama Masehi, bersamaan waktunya dengan kedatangan agama Buddha, yang kemudian menghasilkan sejumlah kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram dan Majapahit.
* Budha : Buddha merupakan agama tertua kedua di Indonesia, tiba pada sekitar abad keenam masehi. Sejarah Buddha di Indonesia berhubungan erat dengan sejarah Hindu.
* Kristen Katolik : Agama Katolik untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia pada bagian pertama abad ketujuh di Sumatera Utara. Dan pada abad ke-14 dan ke-15 telah ada umat Katolik di Sumatera Selatan. Kristen Katolik tiba di Indonesia saat kedatangan bangsa Portugis, yang kemudian diikuti bangsa Spanyol yang berdagang rempah-rempah.
* Kristen Protestan : Kristen Protestan berkembang di Indonesia selama masa kolonial Belanda (VOC), pada sekitar abad ke-16. Kebijakan VOC yang mengutuk paham Katolik dengan sukses berhasil meningkatkan jumlah penganut paham Protestan di Indonesia. Agama ini berkembang dengan sangat pesat di abad ke-20, yang ditandai oleh kedatangan para misionaris dari Eopa ke beberapa wilayah di Indonesia, seperti di wilayah barat Papua dan lebih sedikit di kepulauan Sunda.
* Konghucu : Agama Konghucu berasal dari Cina daratan dan yang dibawa oleh para pedagang Tionghoa dan imigran. Diperkirakan pada abad ketiga Masehi, orang Tionghoa tiba di kepulauan Nusantara. Berbeda dengan agama yang lain, Konghucu lebih menitik beratkan pada kepercayaan dan praktik yang individual.
Fungsi-Fungsi Agama
Tentang Agama
Agama bukanlah suatu entitas independen yang berdiri
sendiri. Agama terdiri dari berbagai dimensi yang merupakan satu kesatuan.
Masing-masingnya tidak dapat berdiri tanpa yang lain. seorang ilmuwan barat
menguraikan agama ke dalam lima dimensi komitmen. Seseorang kemudian dapat
diklasifikasikan menjadi seorang penganut agama tertentu dengan adanya perilaku
dan keyakinan yang merupakan wujud komitmennya. Ketidakutuhan seseorang dalam
menjalankan lima dimensi komitmen ini menjadikannya religiusitasnya tidak dapat
diakui secara utuh. Kelimanya terdiri dari perbuatan, perkataan, keyakinan, dan
sikap yang melambangkan (lambang=simbol) kepatuhan (=komitmen) pada ajaran
agama. Agama mengajarkan tentang apa yang benar dan yang salah, serta apa yang
baik dan yang buruk.
Agama berasal dari Supra Ultimate Being, bukan dari
kebudayaan yang diciptakan oleh seorang atau sejumlah orang. Agama yang benar
tidak dirumuskan oleh manusia. Manusia hanya dapat merumuskan kebajikan atau
kebijakan, bukan kebenaran. Kebenaran hanyalah berasal dari yang benar yang
mengetahui segala sesuatu yang tercipta, yaitu Sang Pencipta itu sendiri. Dan
apa yang ada dalam agama selalu berujung pada tujuan yang ideal. Ajaran agama
berhulu pada kebenaran dan bermuara pada keselamatan. Ajaran yang ada dalam
agama memuat berbagai hal yang harus dilakukan oleh manusia dan tentang hal-hal
yang harus dihindarkan. Kepatuhan pada ajaran agama ini akan menghasilkan
kondisi ideal.
Mengapa ada yang Takut pada Agama?
Mereka yang sekuler berusaha untuk memisahkan agama
dari kehidupan sehari-hari. Mereka yang marxis sama sekali melarang agama.
Mengapa mereka melakukan hal-hal tersebut? Kemungkinan besarnya adalah karena
kebanyakan dari mereka sama sekali kehilangan petunjuk tentang tuntunan apa
yang datang dari Tuhan. Entah mereka dibutakan oleh minimnya informasi yang
mereka dapatkan, atau mereka memang menutup diri dari segala hal yang
berhubungan dengan Tuhan.
Alasan yang seringkali mereka kemukakan adalah agama
memicu perbedaan. Perbedaan tersebut menimbulkan konflik. Mereka memiliki
orientasi yang terlalu besar pada pemenuhan kebutuhan untuk bersenang-senang,
sehingga mereka tidak mau mematuhi ajaran agama yang melarang mereka melakukan
hal yang menurutnya menghalangi kesenangan mereka, dan mereka
merasionalisasikan perbuatan irasional mereka itu dengan justifikasi
sosial-intelektual. Mereka menganggap segi intelektual ataupun sosial memiliki
nilai keberhargaan yang lebih. Akibatnya, mereka menutup indera penangkap
informasi yang mereka miliki dan hanya mengandalkan intelektualitas yang serba
terbatas.
Mereka memahami dunia dalam batas rasio saja. Logika
yang mereka miliki begitu terbatasnya, hingga abstraksi realita yang bersifat
supra-rasional tidak mereka akui. Dan hasilnya, mereka terpenjara dalam
realitas yang serba empiri. Semua harus terukur dan terhitung. Walaupun mereka
sampai sekarang masih belum memahami banyaknya fungsi alam yang bekerja dalam
mekanisme supra rasional, keterbatasan kerangka berpikir yang mereka miliki
menegasikan semua hal yang tidak dapat ditangkap secara inderawi.
Padahal, pembatasan diri dalam realita yang hanya
bersifat empiri hanya akan membatasi potensi manusia itu sendiri. Dan hal ini
menegasikan tujuan hidup yang selama ini diagungkan para penganut realita
rasio-saja, yaitu aktualisasi diri dan segala potensinya.
Agama, dengan sandaran yang kuat pada realitas supra
rasional, membebaskan manusia untuk mengambil segala hal yang terbaik yang
dapat dihasilkannya dalam hidup. Semua-apakah hal itu bersifat empiri-terukur,
maupun yang belum dapat diukur. Empirisme bukanlah suatu hal yang ditolak
agama. Agama yang benar, yang bersifat universal, mencakup segi intelektual
yang luas, yang diantaranya adalah empirisme. Agama tidak mereduksi
intelektualitas manusia dengan membatasi kuantitas maupun kualitas suatu idea.
Agama yang benar, memberi petunjuk pada manusia tentang bagaimana potensi
manusia dapat dikembangkan dengan sebesar-besarnya. Dan sejarah telah
membuktikan hal tersebut.
Kesalahan yang dibuat para penilai agama-lah yang
kemudian menyebabkan realita ajaran ideal ini menjadi terlihat buruk. Beberapa
peristiwa sejarah yang menonjol mereka identikan sebagai kesalahan karena
agama. Karena keyakinan pada ajaran agama. Padahal, kerusakan yang ditimbulkan
adalah justru karena jauhnya orang dari ajaran agama. Kerusakan itu timbul saat
agama-yang mengajarkan kemuliaan- disalahgunakan oleh manusia pelaksananya
untuk mencapai tujuan yang terlepas dari ajaran agama itu sendiri, terlepas
dari pelaksanaan keseluruhan dimensinya.
Pelembagaan Agama
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan agama? Kami mengurapamakan sebagai sebuah telepon. Jika manusia adalah suatu pesawat telepon, maka agama adalah media perantara seperti kabel telepon untuk dapat menghubungkan pesawat telepon kita dengan Telkom atau dalam hal ini Tuhan. Lembaga agama adalah suatu organisasi, yang disahkan oleh pemerintah dan berjalan menurut keyakinan yang dianut oleh masing-masing agama. Penduduk Indonesia pada umumnya telah menjadi penganut formal salah satu dari lima agama resmi yang diakui pemerintah. Lembaga-lembaga keagamaan patut bersyukur atas kenyataan itu. Namun nampaknya belum bisa berbangga. Perpindahan penganut agama suku ke salah satu agama resmi itu banyak yang tidak murni.
Sejarah mencatat bahwa tidak jarang terjadi peralihan
sebab terpaksa. Pemaksaan terjadi melalui “perselingkuhan” antara lembaga agama
dengan lembaga kekuasaan. Keduanya mempunyai kepentingan. Pemerintah butuh
ketentraman sedangkan lembaga agama membutuhkan penganut atau pengikut.
Kerjasama (atau lebih tepat disebut saling memanfaatkan) itu terjadi sejak
dahulu kala. Para penyiar agama sering membonceng pada suatu kekuasaan
(kebetulan menjadi penganut agama tersebut) yang mengadakan invansi ke daerah
lain. Penduduk daerah atau negara yang baru ditaklukkan itu dipaksa (suka atau
tidak suka) menjadi penganut agama penguasa baru.
Kasus-kasus itu tidak hanya terjadi di Indonesia atau
Asia dan Afrika pada umumnya tetapi juga terjadi di Eropa pada saat agama
monoteis mulai diperkenalkan. Di Indonesia “tradisi” saling memanfaatkan
berlanjut pada zaman orde Baru.Pemerintah orde baru tidak mengenal penganut di
luar lima agama resmi. Inilah pemaksaan tahap kedua. Penganut di luar lima
agama resmi, termasuk penganut agama suku, terpaksa memilih salah satu dari
lima agama resmi versi pemerintah. Namun ternyata masalah belum selesai.
Kenyataannya banyak orang yang menjadi penganut suatu agama tetapi hanya
sebagai formalitas belaka. Dampak keadaan demikian terhadap kehidupan
keberagaan di Indonesia sangat besar. Para penganut yang formalitas itu, dalam
kehidupan kesehariannya lebih banyak mempraktekkan ajaran agam suku, yang
dianut sebelumnya, daripada agama barunya. Pra rohaniwan agama monoteis,
umumnya mempunyai sikap bersebrangan dengan prak keagamaan demikian. Lagi pula
pengangut agama suku umumnya telah dicap sebagai kekafiran. Berbagai cara telah
dilakukan supaya praktek agama suku ditinggalkan, misalnya pemberlakukan
siasat/disiplin gerejawi. Namun nampaknya tidak terlalu efektif.
Upacara-upacara yang bernuansa agama suku bukannya semakin berkurang tetapi
kelihatannya semakin marak di mana-mana terutama di desadesa.
Demi pariwisata yang mendatangkan banyak uang bagi
para pelaku pariwisata, maka upacarav-upacara adat yang notabene adalah upacara
agama suku mulai dihidupkan di daerah-daerah. Upacara-upacara agama sukuyang
selama ini ditekan dan dimarjinalisasikan tumbuh sangat subur bagaikan tumbuhan
yang mendapat siraman air dan pupuk yang segar. Anehnya sebab bukan hanya orang
yang masih tinggal di kampung yang menyambut angin segar itu dengan antusias tetapi
ternyata orang yang lama tinggal di kotapun menyambutnya dengan semangat
membara. Bahkan di kota-kotapun sering ditemukan praktek hidup yang sebenarnya
berakar dalam agama suku. Misalnya pemilihan hari-hari tertentu yang diklaim
sebagai hari baik untuk melaksanakan suatu upacara. Hal ini semakin menarik
sebab mereka itu pada umumnya merupakan pemeluk yang “ fanatik” dari salah satu
agama monoteis bahkan pejabat atau pimpinan agama.
Pendapat Mahasiswa
Agama adalah suatu kepercayaan atau keyakinan
yang dimiliki seorang manusia pada dasarnya kita ada mahluk ciptaan Tuhan namun
setiap manusia tidaklah sama dengan keyakinannya masih banyak perbedaan dan
keyaninan yang dimiliki namun dalam kehidupan agama sering kali menjadi konflik
yang rumit dimasyarakat disamping itu kita sebagai manusia adalah bagian dari
masyarakat yang hidup saling membutuhkan dengan agama kita harus menjadi
masyarakat yang menjujung tinggi nilai pancasila karna agama selalu mengajarkan
umatnya kedalam jalan yang benar
Oleh karena itu alangkah baiknya agama
dijadikan sebagai alat atau pedomn untuk dapet bisa bermasyarakat yang harmonis
dan damai.
Referensi
0 komentar:
Posting Komentar