skip to main |
skip to sidebar
Tugas
Softskill
Ilmu
Sosial Dasar
BAB
VIII
PERTENTANGAN
SOSIAL DAN INTEGRASI MASYARAKAT
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Sosial Dasar
Disusun
oleh:
Shifa
Awaliyah (18113444)
1KA07
FAKULTAS
ILMU KOMPUTER DAN TEKNOLOGI INFORMASI
JURUSAN
SISTEM INFORMASI
UNIVERSITAS
GUNADARMA

PERTENTANGAN SOSIAL DAN INTEGRASI MASYARAKAT
A. Perbedaan Kepentingan
Kepentingan
merupakan dasar dari timbulnya tingkah laku individu. Individu bertingkah laku
karena adanya dorongan untuk memenuhi kepentingannya. Kepentingan ini sifatnya
esensial bagi kelangsungan hidup individu itu sendiri, jika individu berhasil
memenuhi kepentingannya, maka ia akan merasakan kepuasan dan sebaliknya
kegagalan dalam memenuhi kepentingan akan menimbilkan masalah baik bagi dirinya
maupun bagi lingkungannya.
Dengan berpegang prinsip bahwa
tingkah laku individu merupakan cara atau alat dalam memenuhi kebutuhannya,
maka kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat pada
hakikatnya merupakan kepuasan pemenuhan dari kepentingan tersebut.
Oleh
karena individu mengandung arti bahwa tidak ada dua orang yang sama persis dalam
aspek-aspek pribadinya, baik jasmani maupun rohani, maka dengan sendirinya
timbul perbedaan individu dalam hal kepentingannya.
Perbedaan kepentingan
itu antara lain berupa :
1. kepentingan
individu untuk memperoleh kasih sayang
2. kepentingan
individu untuk memperoleh harga diri
3. kepentingan
individu untuk memperoleh penghargaan yang sama
4. kepentingan
individu untuk memperoleh prestasi dan posisi
5. kepentingan
individu untuk dibutuhkan orang lain
6. kepentingan
individu untuk memperoleh kedudukan di dalam kelompoknya
7. kepentingan
individu untuk memperoleh rasa aman dan perlindungan diri
8. kepentingan
individu untuk memperoleh kemerdekaan diri.
Kenyataan-kenyataan
seperti itu menunjukkan ketidakmampuan suatu ideologi mewujudkan idealisme yang
akhirnya akan melahirkan kondisi disintegrasi atau konflik. Permasalahan utama
dalam tinjauan konflik ini adalah adanya jarak yang terlalu besar antara
harapan dengan kenyataan pelaksanaan dan hasilnya kenyataan itu disebabkan oleh
sudut pandang yang berbeda antara pemerintah atau penguasa sebagai pemegang
kendali ideologi dengan berbagai kelompok kepentingan sebagai sub-sub ideologi.
Perbedaan kepentingan
ini tidak secara langsung menyebabkan terjadinya konflik tetapi mengenal
beberapa fase yaitu:
1. fase disorganisasi
yang terjadi karena kesalahpahaman.
2. fase dis-integrasi
yaitu pernyataan tidak setuju.
fase dis-integrasi ini memiliki tahapan (Menurut Walter W. Martin dkk):
• ketidaksepahaman
anggota kelompok tentang tujuan yang dicapai.
• norma sosial tidak
membantu dalam mencapai tujuan yang disepakati.
• norma yang telah
dihayati bertentangan satu sama lain.
• sanksi sudah
menjadi lemah
• tindakan anggota
masyarakat sudah bertentangan dengan norma kelompok.
B. Prasangka, Diskriminasi dan
Etnosentris
·
Prasangka
Prasangka atau
prejudice berasal dari kata latian prejudicium, yang pengertiannya sekarang
mengalami perkembangan sebagia berikut :
semula diartikan
sebagai suatu presenden, artinya keputusan diambil atas dasar pengalaman yang
lalu dalam bahas Inggris mengandung arti pengambilan keputusan tanpa
penelitian dan pertimbangan yagn cermat, tergesa-gesa atau tidak
matang untuk mengatakan prasangka dipersyaratkan pelibatan unsur-unsur
emosilan (suka atau tidak suka) dalam keputusan yang telah diambil tersebut
Dalam konteks rasial,
prasangka diartikan:”suatu sikap terhadap anggota kelompok etnis atau ras
tertentu, yang terbentuk terlalu cepat tanpa suatu induksi ”. Dalam hal ini
terkandung suatu ketidakadilan dalam arti sikap yang diambilkan dari beberapa
pengalaman dan yang didengarnya, kemudian disimpulkan sebagai sifat dari
anggota seluruh kelompok etnis.
Prasangka (prejudice)
diaratikan suatu anggapan terhadap sesuatu dari seseorang bahwa sesuatu itu
buruk dengan tanpa kritik terlebih dahulu. Baha arab menyebutnya “sukhudzon”.
Orang, secara serta merta tanpa timbang-timbang lagi bahwa sesuatu itu buruk.
Dan disisi lain bahasa arab “khusudzon” yaitu anggapan baik terhadap sesuatu.
Prasangka menunjukkan
pada aspek sikap sedangkan diskriminasi pada tindakan. Menurut Morgan (1966)
sikap adalah kecenderungan untuk merespon baik secara positif atau negarif
terhadap orang, obyek atau situasi. Sikap seseorang baru diketahui setelah ia
bertindak atau beringkah laku. Oleh karena itu bisa saja bahwa sikap
bertentangan dengan tingkah laku atau tindakan. Jadi prasangka merupakan
kecenderungan yang tidak nampak, dan sebagai tindak lanjutnya timbul tindakan,
aksi yang sifatnya realistis. Dengan demikian diskriminatif merupakan tindakan
yang relaistis, sedangkan prsangka tidak realistis dan hanya diketahui oleh
diri individu masing-masing.
Prasangka ini
sebagian bear sifatnya apriori, mendahului pengalaman sendiri (tidak
berdasarkan pengalaman sendiri), karena merupakan hasil peniruan atau
pengoperan langsung pola orang lain. Prasangka bisa diartikan suatu sikap yang
telampau tergesa-gesa, berdasarkan generalisasi yang terlampau cepat, sifat
berat sebelah, dan dibarengi proses simplifikasi (terlalu menyederhanakan)
terhadap sesuatu realita. Dalam kehidupan sehari-hari prasangka ini banyak
dimuati emosi-emosi atau unsure efektif yang kuat.
Tidak sedikit orang
yang mudah berprasangka, namun banyak juga orang-orang yang lebih sukar
berprasangka. Mengapa terjadi perbedaan cukup menyolok ? tampaknya kepribadian
dan inteligensi, juga factor lingkungan cukup berkaitan engan munculnya
prasangka. Orang yang berinteligensi tinggi, lebih sukar berprasangka, mengapa
? karena orang-orang macam ini berikap dan bersifat kritis. Prasangka bersumber
dari suatu sikap. Diskriminasi menunjukkan pada suatu tindakan. Dalam pergaulan
sehari-hari sikap prasangka dan diskriminasi seolah-olah menyatu, tak dapat
dipisahkan. Seseorang yagn mempunyai prasangka rasial, biasanya bertindak
diskriminasi terhadap ras yang diprasangkainya. Walaupun begitu, biasa saja
seseorang bertindak diskriminatof tanpa latar belakang prasangka. Demikian jgua
sebaliknya seseorang yang berprasangka dapat saja bertindak tidak
diskriminatif.
Sebab-sebab timbulnya
prasangka dan diskriminasi :
berlatar belakang sejarah
dilatar-belakangi oleh perkembangan
sosio-kultural dan situasional
bersumber dari factor kepribadian
berlatang belakang perbedaan keyakinan,
kepercayaan dan agama
Usaha-usaha
mengurangi/menghilangkan prasangka dan diskriminasi
Perbaikan kondisi sosial ekonomi
Perluasan kesempatan belajar
Sikap terbuka dan sikap lapang
·
Diskriminasi
Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak
adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan
karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan
suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena
kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang lain.
Ketika seseorang
diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan,
kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau
karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan diskriminasi.
Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau kebijakan
jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan
sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama.
Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi
diskriminatif saat diterapkan di lapangan.Diskriminasi ditempat kerja
Diskriminasi dapat
terjadi dalam berbagai macam bentuk:
dari struktur upah,
cara penerimaan
karyawan,
strategi yang
diterapkan dalam kenaikan jabatan, atau
kondisi kerja secara
umum yang bersifat diskriminatif.
Diskriminasi di tempat kerja berarti mencegah seseorang memenuhi aspirasi
profesional dan pribadinya tanpa mengindahkan prestasi yang dimilikinya.
Teori statistik
diskriminasi berdasar pada pendapat bahwa perusahaan tidak dapat mengontrol
produktivitas pekerja secara individual. Alhasil, pengusaha cenderung
menyandarkan diri pada karakteristik-karakteristik kasat mata, seperti ras atau
jenis kelamin, sebagai indikator produktivitas, seringkali diasumsikan anggota
dari kelompok tertentu memiliki tingkat produktivitas lebih rendah.
· Etnosentris
Etnosentrisme cenderung memandang rendah
orang-orang yang dianggap asing, etnosentrisme memandang dan mengukur budaya
asing dengan budayanya sendiri. “ ( The Random House Dictionary ).
Ada satu suku Eskimo
yang menyebut diri mereka suku Inuit yang berarti “penduduk sejati” [Herbert,
1973, hal.2]. Sumner menyebutkan pandangan ini sebagai etnosentrisme, yang
secara formal didefinisikan sebagai “pandangan bahwa kelompoknya sendiri”
adalah pusat segalanya dan semua kelompok lain dibandingkan dan dinilai sesuai
dengan standar kelompok tadi [Sumner, 1906, hal.13]. Secara kurang formal
etnosentrisme adalah kebiasaan setiap kelompok untuk menganggap kebudayaan
kelompoknya sebagai kebudayaan yang paling baik.
Etnosentrisme terjadi
jika masing-masing budaya bersikukuh dengan identitasnya, menolak bercampur
dengan kebudayaan lain. Porter dan Samovar mendefinisikan etnosentrisme seraya
menuturkan, “Sumber utama perbedaan budaya dalam sikap adalah etnosentrisme,
yaitu kecenderungan memandang orang lain secara tidak sadar dengan menggunakan
kelompok kita sendiri dan kebiasaan kita sendiri sebagai kriteria untuk
penilaian. Makin besar kesamaan kita dengan mereka, makin dekat mereka dengan
kita; makin besar ketidaksamaan, makin jauh mereka dari kita. Kita cenderung
melihat kelompok kita, negeri kita, budaya kita sendiri, sebagai yang paling baik,
sebagai yang paling bermoral.”
Etnosentrisme membuat kebudayaan kita sebagai patokan untuk mengukur
baik-buruknya kebudayaan lain dalam proporsi kemiripannya dengan budaya kita.
Ini dinyatakaan dalam ungkapan : “orang-orang terpilih”, “progresif”, “ras yang
unggul”, dan sebagainya. Biasanya kita cepat mengenali sifat etnosentris pada
orang lain dan lambat mengenalinya pada diri sendiri.
Sebagian besar, meskipun tidak semuanya, kelompok dalam suatu masyarakat
bersifat etnosentrisme. Semua kelompok merangsang pertumbuhan etnosentrisme,
tetapi tidak semua anggota kelompok sama etnosentris. Sebagian dari kita adalah
sangat etnosentris untuk mengimbangi kekurangan-kekurangan kita sendiri.
Kadang-kadang dipercaya bahwa ilmu sosial telah membentuk kaitan erat antara
pola kepribadian dan etnosentrisme.
Kecenderungan etnosentrisme berkaitan erat dengan kemampuan belajar dan
berprestasi. Dalam buku The Authoritarian Personality, Adorno (1950) menemukan
bahwa orang-orang etnosentris cenderung kurang terpelajar, kurang bergaul, dan
pemeluk agama yang fanatik. Dalam pendekatan ini, etnosentrisme didefinisikan
terutama sebagai kesetiaan yang kuat dan tanpa kritik pada kelompok etnis atau
bangsa sendiri disertai prasangka terhadap kelompok etnis dan bangsa lain. Yang
artinya orang yang etnosentris susah berasimilasi dengan bangsa lain, bahkan
dalam proses belajar-mengajar.
Etnosentrisme akan terus marak apabila pemiliknya tidak mampu melihat human
encounter sebagai peluang untuk saling belajar dan meningkatkan kecerdasan, yang
selanjutnya bermuara pada prestasi. Sebaliknya, kelompok etnis yang mampu
menggunakan perjumpaan mereka dengan kelompok-kelompok lain dengan
sebaik-baiknya, di mana pun tempat terjadinya, justru akan makin meninggalkan
etnosentrisme. Kelompok semacam itu mampu berprestasi dan menatap masa depan
dengan cerah.
Etnosentrisme mungkin
memiliki daya tarik karena faham tersebut mengukuhkan kembali “keanggotaan”
seseorang dalam kelompok sambil memberikan penjelasan sederhana yang cukup
menyenangkan tentang gejala sosial yang pelik. Kalangan kolot, yang terasing
dari masyarakat, yang kurang berpendidikan, dan yang secara politis konservatif
bisa saja bersikap etnosentris, tetapi juga kaum muda, kaum yang berpendidikan
baik, yang bepergian jauh, yang berhaluan politik “kiri” dan yang kaya [Ray,
1971; Wilson et al, 1976]. Masih dapat diperdebatkan apakah ada suatu variasi
yang signifikan, berdasarkan latar belakang sosial atau jenis kepribadian,
dalam kadar etnosentris seseorang.
C. Pertentangan Sosial Ketegangan
Masyarakat
Konflik mengandung
pengertian tingkah laku yang lebih luas daripada yang biasa dibayangkan orang
dengan mengartikannya sebagai pertentangan yang kasar atau perang. Dalam hal
ini terdapat tiga elemen dasar yang merupakan ciri dari situasi konflik, yaitu
:
1 . Terdapat dua atau lebih unit-unit
atau bagian yang terlibat dalam konflik.
2 . Unit-unit tersebut mempunyai
perbedaan-perbedaan yang tajam dalam kebutuhan, tujuan, masalah, sikap, maupun
gagasan-gagasan.
3 . Terdapat interaksi diantara
bagian-bagian yang mempunyai perbedaan tersebut.
Konflik merupakan
suatu tingkah laku yang dibedakan dengan emosi-emosi tertentu yang sering
dihubungkan dengan kebencian atau permusuhan, konflik dapat terjadi pada
lingkungan :
a. pada taraf di
dalam diri seseorang, konflik menunjuk adanya pertentangan, ketidakpastian atau
emosi dan dorongan yang antagonistic dalam diri seseorang.
b. pada taraf
kelompok, konflik ditimbulkan dari konflik yang terjadi dalam diri individu,
dari perbedaan pada para anggota kelompok dalam tujuan, nilai-nilai dan norma,
motivasi untuk menjadi anggota kelompok, serta minat mereka.
c.pada taraf
masyarakat, konflik juga bersumber pada perbedaan antara nilai-nilai dan
norma-norma kelompok dengan nilai-nilai dan norma-norma dimana kelompok yang
bersangkutan berada.
Adapun cara pemecahan konflik
tersebut :
Elimination, pengunduran diri dari salah
satu pihak yang terlibat konflik
Subjugation atau Domination, pihak yang
mempunyai kekuasaan terbesar dapat memaksa pihak lain untuk mengalah
Majority Rule, artinya suara terbanyak yang
ditentukan dengan voting
Minority Consent, artinya kelompok mayoritas yang
menang, namun kelompok minoritas tidak merasa dikalahkan dan menerima
keputusan serta kesepakatan untuk melakukan kegiatan bersama
Compromise, artinya semua sub kelompok yang
terlibat dalam konflik berusaha mencari dan mendapatkan jalan tengah
Integration, artinya pendapat-pendapat yang
bertentangan didiskusikan, dipertimbangkan, dan ditelaah kembali sampai
kelompok mencapai suatu keputusan yang memuaskan bagi semua pihak
D. Golongan-Golongan
yang Berbeda dan Integrasi Sosial
Masyarakat Indonesia
digolongkan sebagai masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai
suku bangsa dan golongan sosial yang dipersatukan oleh kesatuan nasional yang
berwujudkan Negara Indonesia. Aspek-aspek dari kemasyarakatan :
1.Suku bangsa dankebudayaannya.
2. Agama
3. Bahasa
4. Nasional Indonesia.
Masalah besar yang dihadapi Indonesia setelah merdeka
adalah integrasi diantara masyarakat yang majemuk.
Integrasi bukan peleburan, tetapi keserasian persatuan. Masyarakat majemuk
tetap berada pada kemajemukkannya, mereka dapat hidup serasi berdampingan
(Bhineka Tunggal Ika), berbeda-beda tetapi merupakan kesatuan. Adapun hal-hal
yang dapat menjadi penghambat dalam integrasi:
Tuntutan penguasaan atas wilayah-wilayah yang
dianggap sebagai miliknya
Isu asli tidak asli, berkaitan dengan perbedaan
kehidupan ekonomi antar warga negara Indonesia asli dengan keturunan
(Tionghoa,arab)
Agama, sentimen agama dapat digerakkan untuk
mempertajam perbedaan kesukuan
Prasangka yang merupakan sikap permusuhan
terhadap seseorang anggota golongan tertentu.
E. Integrasi Nasional
Integritas Nasional
identik dengan integritas bangsa yang mempunyai pengertian suatu proses
penyatuan atau pembauran berbagai aspek sosial budaya ke dalam kesatuan wilayah
dan pembentukan identitas nasional atau bangsa (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
1989) yang harus dapat menjamin terwujudnya keselarasan, keserasian dan
keseimbangan dalam mencapai tujuan bersama sebagai suatu bangsa. Integritas
nasional sebagai suatu konsep dalam kaitan dengan wawasan kebangsaan dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia berlandaskan pada aliran pemikiran/paham
integralistik yang dicetuskan oleh G.W.F. Hegl (1770-1831).
Pengertian ini
berhubungan dengan paham idealisme untuk mengenal dan memahami sesuatu harus
dicari kaitannya satu dengan yang lain. Dan untuk mengenal manusia harus
dikaitkan dengan masyarakat di sekitarnya dan untuk mengenal suatu masyarakat
harus dicari kaitannya dengan proses sejarah.
Istilah Integritas
Nasional terdiri dari dua kata yaitu “Integritas” dan “Nasional”. Istilah
“integritas” mempunyai arti “mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan
kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan
kewibawaan” (Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, 2005), sedangkan istilah
“nasional” mempunyai arti kebangsaan, bersifat bangsa sendiri yang meliputi
suatu bangsa (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989), berupa adat istiadat, suku,
warna kulit, keturunan, agama, budaya, wilayah/daerah. Integritas nasional
wujud keutuhan prinsip moral dan etika bangsa Indonesia dalam kehidupan
bernegara (Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, 2008).
Setelah pengertian
integrasi kita dikupas di atas, maka disintegrasi bangsa dapat dikatakan lawan
arti dari integrasi bangsa. Disintegrasi bangsa sangat membahayakan keberadaan
Negara ini dalam percaturan kehidupan bernegara di dunia. Dapat diartikan pula
kondisi pecahnya kesatuan dan persatuan bangsa kita. Persatuan dan kesatuan ini
dapat dilihat dalam kontek kewilayahan maupun kebangsaan yang meliputi kesatuan
ekonomi, politik, social budaya, ideology dan pertahanan keamanan
Pendapat Mahasiswa
Didalam
kelompok bermasyarakat pasti ada sesuatu yang kurang atau yang belum sempurna
untuk dipenuhi agar bisa menjadi sesuatu keserasian dalam fungsi pola
bermasyarakat. Saling perbedaan tersebut lah yang melatarbelakangi hal tersebut
sehingga terjadi penyesuaian nilai-nilai atau unsur-unsur di dunia masyarakat
sendiri. Banyak masyarakat yang tidak puas atas apa yang dimilikinya sehingga
pola-pola atau unsur-unsur didalamnya menjadi pertentangan atau pertikaian yang
tidak bisa dihindari,oleh karena itu integrasi masyarakat sangat dibutuhkan di
dalamnya agar masyarakat menjadi nyaman dan puas akan apa yang mereka
rasakan.
Referensi
0 komentar:
Posting Komentar