Perlu Kecerdasan dan Etika untuk Berinteraksi dan Menyikapi Perbedaan
di Dunia Maya
Disusun Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Teori Organisasi
Umum 1
Disusun oleh:
Shifa Awaliyah
(18113444)
2KA17
FAKULTAS ILMU
KOMPUTER DAN TEKNOLOGI INFORMASI
JURUSAN
SISTEM INFORMASI
UNIVERSITAS
GUNADARMA
Perlu Kecerdasan dan Etika untuk Berinteraksi dan Menyikapi Perbedaan di
Dunia Maya
Dunia maya dan media baru yang datang bersamanya
adalah realitas yang menakjubkan.
Sekaligus menakutkan.
Setiap orang sekarang dapat menyebarluaskan berita,
gagasan dan pendapat ke khalayak dalam tempo sekejap, menjangkau seluruh dunia,
nyaris tanpa biaya, nyaris tanpa sensor atau Vbatasan apapun. Kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi, khususnya internet, yang dipuncaki dengan
meruyaknya media sosial ke seluruh pelosok dan ke seluruh lapisan masyarakat
memungkinkan fenomena baru ini.
Ratusan juta orang mendadak menjadi pewarta yang
bisa mengabarkan apa saja melalui komputer jinjing dan telepon genggamnya :
mulai dari jumlah demonstran yang tewas yang ditutup-tutupi oleh pemerintah,
hingga tentang si kecil yang lupa gosok gigi tadi pagi.
Ratusan juta orang mendadak menjadi pakar dalam
bidang apa saja untuk mengomentari berita atau pendapat yang tersebar di forum
maya; amunisinya mulai dari ayat-ayat Kitab Suci, teori pakar dari seluruh
penjuru bumi, pengalaman pribadi dan - tentu saja - tautan situs yang
ditunjukkan oleh mesin pencari Google.
Ratusan juta orang yang tadinya diam dan tak pernah
menyiapkan diri untuk mengeluarkan suaranya di media publik, sekarang menjadi
produsen kata-kata dan gambar-gambar yang membanjiri milyaran halaman situs di
internet.
Kesempatan itu tersedia begitu mudah : cuma
mendaftarkan alamat surel gratisan dan identitas pribadi - boleh jujur, boleh
bohong-bohongan; pintu-pintu untuk menyebarluaskan informasi dan gagasan
pribadi terbuka sangat lebar. Lazimnya setiap situs mewajibkan pendaftar untuk
membaca Terms & Conditions (syarat dan ketentuan) untuk
berpartisipasi dalam komunitas, tapi ini biasanya tidak begitu diperhatikan.
Tinggal klik “I agree” atau “saya setuju”, selanjutnya orang-orang melibatkan
diri dalam komunitas maya dengan cara yang diasumsikannya sendiri.
Melalui tulisan dan gambar yang diunggah di
halaman-halaman komunitas maya, orang-orang membagikan setiap informasi dan
gagasan yang dimiliki; dan melalui fasilitas di balong komentar, orang-orang
menanggapi informasi dan gagasan orang lain. Interaksi terjalin di antara
orang-orang yang hadir di sebuah forum maya. Namun, sebagian besar tidak tahu,
bahkan mungkin tidak pernah mendengar, aturan yang disebut dengan netiquette
(etiket berinteraksi di dunia maya). Sebagian tidak tahu atau tidak peduli
dengan etika dalam hubungan antar manusia yang berlaku di dunia nyata dan di
dunia maya. Anonimitas menambah keleluasaan untuk bersikap, berujar dan
berinteraksi, seakan-akan media baru telah menyediakan kebebasan tanpa batas.
Bagaikan jalan raya yang minim rambu dan dijejali
oleh orang-orang yang bahkan tak tahu apakah harus berjalan dan mengemudi di
sisi kiri atau di sisi kanan, dunia maya menyaksikan benturan dan tabrakan
antara anggota masyarakatnya. Masing-masing mengambil jalannnya sendiri, ingin
mendahului, merebut jalur, menubruk bila perlu, memaki jika terganggu, meradang
dan menerjang jika diserang. Dunia maya menjadi realitas yang menakutkan.
Manusia menjadi liar dan demikian ganas satu sama lain; memojokkan dan menghina
dengan kata-kata kasar plus pelintiran logika dan informasi bohong menjadi
salah satu cara menyingkirkan orang lain untuk menempatkan pendapat pribadi di
puncak piramida kebenaran.
Dunia maya yang idealnya dijadikan tempat pertemuan
gagasan untuk melahirkan gagasan baru yang lebih baik berubah menjadi lahan
untuk memaksakan gagasan. Media baru yang diniatkan untuk membuka
seluas-luasnya kesempatan bagi para awam untuk berpartisipasi dalam isu aktual,
berubah menjadi medan pertarungan pendapat, citra dan idola yang harus
dimenangkan dengan segala cara.
Kesempatan untuk menyampaikan gagasan dan pendapat
tanpa moderasi membuat banyak orang tergagap-gagap menanggapinya. Belum pernah
ada kebebasan sebesar ini mereka dapatkan di dunia nyata. Mereka meneriakkan
aspirasi dan pikiran mereka sesuka hati, mengabaikan perasaan golongan lain dan
mem-bully orang lain yang berbeda pendapat. Mereka lupa, setiap individu
hanyalah sebuah simpul di dalam tali temali jejaring sosial; semua menjadi
subyek, tak ada yang hanya sekedar obyek; tak ada yang lebih berhak dari yang
lain untuk menguasai ruang publik tersebut.
Tidak dipahaminya etiket berinteraksi di dunia maya
membuat situasi tambah semrawut. Namun, etiket internet saja tidak cukup.
Pertarungan, perselisihan dan perdebatan yang tidak
produktif di dunia maya hanyalah lanjutan dari ketidakmampuan menanggapi
perbedaan di dunia nyata. Jika di dunia nyata konflik akibat perbedaan tersebut
bisa dipendam karena adanya etika sosial yang sudah dikenal sejak kanak-kanak,
maka dunia maya menjadi tempat penyaluran konflik terpendam tersebut. Sumpah
serapah yang ditahan-tahan di dunia nyata meledak tanpa henti bagaikan rentetan
mercon di dunia maya. Ide-ide liar yang terkekang di dunia nyata karena menjaga
perasaan pihak lain menemukan habitatnya di dunia maya dan memancing kehadiran
ide yang lebih liar lagi.
Pseudonim, anonimitas dan tidak adanya interaksi
“face-to-face” menjadi penyebab orang-orang berperilaku berbeda di dunia maya
dengan di dunia nyata. Di balik avatar dan nama semu di dunia maya kebanyakan
adalah orang-orang biasa yang dalam keseharian adalah orang baik-baik yang
berbahasa lembut dan toleran terhadap perbedaan. Namun, mereka berubah menjadi
orang yang beringas dan intoleran ketika masuk ke dalam dunia maya. *)
Mereka tak berbeda dengan orang-orang yang bermain
video game. Seorang yang tak punya nyali menyembelih ayam di dunia nyata,
dengan mudah akan menembak mati dan memancung leher ratusan musuh dan menikmati
erangan sakaratul maut di tengah-tengah genangan darah di permainan virtual.
Bagi sebagian orang, tanpa mereka sadari, dunia maya tak lebih dari sebuah
permainan virtual; audiens dan lawan berdebat adalah obyek dan musuh yang tak lebih
dari kata-kata dan gambar yang diciptakan secara elektronis oleh mesin komputer
dan jaringan internet.
Alih-alih mengingat sesama anggota komunitas
ataupun khalayak luas sebagai audiens tulisannya, sebagian orang menulis atau
berkomentar hanya sekedar memuaskan syahwat berpendapatnya dengan memuncratkan
apa pun yang ada di benaknya. Tak ada kendali internal; tak ada batasan sosial.
Mereka beropini tentang orang lain dan pendapat lain, tanpa peduli bahwa orang
lain tersebut atau orang yang berpendapat lain itu ada di sekitar mereka,
membaca dengan seksama setiap kata dan gambar yang tayang di monitornya.
Mereka lupa bahwa orang yang namanya disebut, atau
pendapatnya, keyakinannya dan golongannya disinggung dalam tulisan tersebut
bisa tersinggung atas suatu misinformasi, misrepresentasi, misinferensi dan
miskomunikasi. Jika pun para penulis tersebut menyadari tentang hal tersebut,
mereka menganggap ketersinggungan tersebut adalah kebodohan pribadi atau
golongan, karena dari sisi pemberi opini tidak ada niat menyinggung, hanya
menyampaikan fakta apa adanya atau memberikan hasil runtutan penalaran yang
sah. Ketersinggungan itu seringkali memicu perlawanan berupa kemarahan dan
perdebatan yang tidak mencari pemahaman bersama, tetapi klaim meng-klaim
kebenaran dalam rangka mempertahankan posisi masing-masing.
Kebebasan adalah ciri dari dunia maya dan media
baru. Mencoba mengendalikan konflik karena perbedaan pendapat dengan cara
membuat aturan-aturan dan pengendalian yang keras mengkhianati ide dasar dari
media baru, yang pada ujungnya akan membuat media baru tersebut akan kehilangan
kekuatan dan daya tariknya. Namun, membiarkan saja setiap orang membuat
aturannya sendiri tentu adalah solusi ekstrem yang pasti gagal. Ketika hukum
dan aturan formal tak hendak dijadikan sebagai rambu-rambu utama, maka
kecerdasan bersama dan etika dapat dijadikan sebagai sandaran.
Para pengguna media baru perlu diedukasi tentang
realitas dunia maya. Adalah tanggung-jawab komunitas untuk mengulang-ulangi
pemahaman ini kepada anggota baru dan anggota lama, karena hanya melalui
pemahaman bersama yang benar tentang realitas tersebut bisa membuat komunitas
bertahan. Kebiasaan-kebiasaan yang baik dalam cara berinteraksi yang
dicontohkan dan diingatkan dari waktu ke waktu akan menjadi norma yang melekat
di dalam dan mengikat komunitas. Dengan perkataan lain, ini menjadi kecerdasan
bersama dalam komunitas tersebut. Tentu, tidak ada jaminan akan ada yang
menyimpang; namun, sanksi sosial dari komunitas berupa teguran dari sesama
anggota (bukan dari administratur pengelola komunitas) atau pengucilan akan
membuat norma yang baik tersebut bertahan.
Jadi, bagaimanakah sebaiknya berinteraksi di dunia
maya, khususnya ketika berhadapan dengan orang-orang yang berbeda pendapat ?
1.
Dunia maya bukan dunia nyata. Kita menjadi pribadi
yang berbeda ketika masuk ke dunia maya. Kita memandang manusia lain secara
berbeda ketika berinteraksi di dunia maya. Meskipun kita berupaya untuk
menganggap orang yang berinteraksi dengan kita di dunia maya adalah senyata
makhluk yang kita kenal di dunia nyata, proses interaksi yang berlangsung
melalui perantaraan komputer dan internet mau tidak mau menciptakan realitas
yang berbeda dibandingkan dengan “face-to-face” di dunia nyata, dan sangat
mungkin kita akan hadir dengan moralitas yang berbeda pula. *) Kesadaran
akan hal ini mewajibkan kita untuk memeriksa diri sendiri ketika mengungkapkan
gagasan di dunia maya.
2.
Kebanyakan interaksi di dunia maya bersifat
insidental (tak direncanakan, tak diniati) dan temporer (interaksi akan berakhir
begitu saja). Sebagian orang masuk ke gelanggang diskusi sekedar “njeplak”,
“ignoran” terhadap topik yang diperbincangkan, “cuma jadi penggembira”,
“kompor” dan “tape recorder rusak”. Bereaksi secara negatif terhadap tulisan
atau komentar yang sejatinya bernilai rendah dari orang-orang yang berbeda
pendapat dengan cara demikian akan membangkitkan perdebatan yang tak berguna.
Sebaris kalimat terimakasih sebagai “certificate of attendance” mereka dan
emoticon senyum cukuplah untuk menghargai partisipasi mereka. Lebih baik
berfokus untuk menanggapi atau mengomentari tulisan atau komentar lain yang
sungguh-sungguh menyapa untuk mencari kebaikan dan kebenaran.
3.
Untuk mereka yang memang serius mendiskusikan
perbedaan pun tak perlu berharap bahwa dengan semuanya akan berujung pada
pemahaman bersama. Diskusi di dunia maya akan selalu mencapai suatu kesepakatan
hanyalah mimpi yang dipaksakan. Orang-orang mampir ke sebuah situs tidak selalu
untuk mencari kebenaran, tapi sebagian membawa misi menyampaikan kebenaran yang
sudah ‘final’; harus diingat pula bahwa ada kebenaran yang tak perlu
didamaikan, seperti kebenaran dalam agama dan ideologi. Ada yang datang membawa
informasi yang bias dan memasang filter terhadap informasi tandingan jika itu
melemahkan argumennya. Sebagian datang dengan alur pikir yang telah terpatri
mati di benaknya, tak bisa lagi diubah meski disodorkan ratusan teori tentang
kesesatan bepikir.
4.
Memasuki suatu komunitas - termasuk di dunia maya -
bertujuan untuk berinteraksi dengan anggota lain yang memiliki “common
interest”, tetapi dalam kesamaan minat dan kepentingan tersebut tak bisa
dihindari terdapat perbedaan dalam aspek lain, bahkan perbedaan itu mungkin
sangat prinsipil. Jika kita menyadari bahwa perbedaan adalah suatu keniscayaan,
kita tak akan memaksakan konsensus. **) Kita akan belajar untuk menerima
kenyataan bahwa perbedaan tertentu akan menempatkan kita dalam kendaraan yang
berbeda dengan tujuan yang berbeda dan jalur yang berbeda; kita dapat berada dalam
komunitas (dan bumi) yang sama dalam situasi demikian tanpa harus berupaya
meniadakan satu sama lainnya. Kita harus belajar hidup selama hayat di kandung
badan dengan semua perbedaan itu. Ada kalanya lintasan gagasan kita saling
bersilang; itulah saatnya kita menggunakan kebijakan untuk menahan diri agar
tidak saling bertabrakan. Ketika kita berpapasan di dunia maya, tak ada
kewajiban saling menyapa jika itu akan membawa kemudharatan.
5.
Akhirnya, dasar etika dalam hubungan antar manusia
adalah : saya manusia, kamu manusia, mereka manusia; kita memiliki banyak
kesamaan sekaligus banyak perbedaan; sama seperti saya ingin dianggap, dihargai
dan dihormati dalam aspek diri saya yang berbeda, demikian juga saya selayaknya
memperlakukan orang lain. Ini berlaku di dunia nyata, juga di dunia maya.
Interaksi dengan orang-orang yang berbeda pendapat di dunia maya haruslah
dengan selalu mengingat bahwa di balik akun dan avatar mereka ada manusia
nyata yang terdiri dari darah, daging dan jiwa.
REFERENSI
*) dari
Thomas Ploug,”Ethics in Cyberspace: How Cyberspace May Influence
Interpersonal Interaction“, Springer, 2009
**) dari
Catherine Lumby and Elspeth Probyn, “Remote Control: New Media, New Ethics“,
Cambridge University Press, 2003